Candi Muara Takus






Candi ini berada di Desa Muara Takus, Kecamatan XIII Koto Kampar, Kabupaten Kampar, jaraknya kurang lebih 135 km dari Kota Pekanbaru. Jarak antara komplek candi ini dengan pusat desa Muara Takus sekitar 2,5 kilometer dan tak jauh dari pinggir sungai Kampar Kanan.

Candi Muara Takus merupakan candi terbesar di Sumatera. Stupa candi ini tidak lazim seperti candi aliran Budha lainnya. Umumnya Stupa candi - candi Budha berbentuk lonceng duduk. Lokasi wisata ini terletak sekitar 135 km dari kota Pekanbaru.

Kompleks candi ini dikelilingi tembok berukuran 74 x 74 meter. Sementara candi itu sendiri berukuran 7 x 7 meter.


Di luar areal
kompleks, terdapat pula tembok tanah berukuran 1,5 x 1,5 kilometer yang mengelilingi kompleks ini sampai ke pinggir sungai Kampar Kanan.

Candi Muara Takus merupakan candi penganut agama Buddha. Ada yang berpendapat bahwa candi ini peninggalan agama Buddha yang datang dari India karena bentuknya mirip dengan Candi Acoka yang ada di India. Namun ada pula yang berpendapat bahwa ini merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya.

Komplek Candi Muara Takus merupakan satu-satunya peninggalan sejarah yang berbentuk candi di Riau.

Sejumlah literatur menyebutkan, Muara Takus berasal dari kata Muara dan Takus. Takus berasal dari bahasa Cina, yakni Ta Ku Se, artinya Candi Tua.

Seperti umumnya candi, komplek Muara Takus berada di dekat alir
an sungai. Ia terletak di tepian Sungai Kampar Kanan.


Candi Muara Takus tidak punya relief sama sekali pada dinding-dindingnya. Hanya menggambarkan seni bangunan bertingkat dari bata dengan irama timbul tenggelam. Membentuk komposisi artistik dan anggun.

Candi Muara Takus merupakan satu-satunya situs peninggalan sejarah berbentuk candi di Riau. Candi Budhis ini merupakan bukti historis bahwa agama Budha pernah berkembang di kawasan ini beberapa abad yang silam. Kendatipun demikian, para pakar purbakala belum dapat menentukan secara pasti, kapan candi ini didirikan. Sebagian mengatakan abad kesebelas, ada yang mengatakan abad keempat, abad ketujuh, abad kesembilan dan sebagainya.

Empat Candi
Di dalam komplek terdapat empat candi, Candi Tua, Candi Bungsu, Candi Mahligai dan Candi Palangka.

Candi Tuo merupakan candi terbesar, terletak di sebelah utara Candi Bungsu. Ukurannya 31,65 x 20,20 meter dengan sisi 36 berbentuk takik-takik atau anak tangga. Di bagian atas ada bundaran. Tidak ada ruang kosong sama sekali di bagian dalam Candi Tuo, demikian juga tiga candi lainnya.

Candi Bungsu mempunyai 20 sisi. Ia berdiri di sebelah barat Candi Mahligai dengan ukuran 13,20 x 16,20 meter. Dari bagian tengah Candi Bungsu bisa langsung mencapai Candi Tuo dengan sebuah lompatan pria dewasa. Bentuk Bungsu tidak jauh beda dengan Tuo. Hanya saja pada bagian atas berbentuk segi empat.

Candi Mahligai sendiri bentuknya berupa stupa, dengan dasar bangunan berbentuk bujursangkar dengan ukuran 9,44 x 10,60 meter dan fundamen bersisi 28. Pada bagian alasnya terdapat teratai (padma) ganda yang bermahkotakan sebuah menara. Menara ini juga punya mahkota lagi dengan sisi 36.

Candi Palangka
berupa altar dengan kisi-kisi serupa. Ukurannya 9,34 x 9,34 meter dengan tinggi sekitar dua meter. Mestinya Palangka hanyalah sebagai perwara, atau candi pendamping.

Sebenarnya ada dua lagi yang diperkirakan merupakan bangunan candi, sehingga keenamnya membentuk bagian dari sebuah miniatur kota. Namun sekarang ini dua candi lainnya sudah raib.

Diperkirakan kedua candi itu tempat kremasi, pembakaran mayat. Selain sebagai bangunan keagamaan, candi umumnya tempat menyimpan abu jenazah para raja dan diyakini sebagai tempat bersemayam para dewa
dan lain-lain.

Bahan Utama
Konon ada anggapan teknologi pembuatan candi dengan bahan bata selangkah lebih maju dibanding candi dari batuan andesit. Perekat bata berasal dari telur ayam sebagai ganti semen. Hal ini berbeda dengan candi-candi batu andesit yang menggunakan teknik tatah.


Bangunan candi ini terbuat dari campuran batu pasir, batu sungai dan batu bata. Menurut sebuah sumber, batu bata untuk bangunan candi ini dibuat di desa Pongkai, sebuah desa yang terletak di sebelah hilir komplek candi.

Bekas galian tanah untuk membuat batu bata sampai saat ini menjadi tempat yang dikeramatkan warga.
Untuk membawa batu bata ke tempat candi, dilakukan secara beranting dari tangan ke tangan.

Penemuan

Candi ini ditemukan oleh Yzerman pada tahun 1893, ketika ia berkelana di hutan-hutan Sumatera.
Ia tertegun ketika melihat sebuah gundukan tembok yang berlapis-lapis.


Pada tahun
1935, seorang arkeolog
berkebangsaan Belanda, Dr. F.M. Schnitger datang dan meneliti candi ini.

Saat
itu, ia sempat heran melihat kedatangan segerombolan gajah ke candi tersebut pada malam bulan purnama, seperti hendak berziarah.

Ada yang menghubungkan kejadian ini dengan aspek mistik. Tapi sebenarnya, ini tak lebih dari kenyataan bahwa posisi candi Muara Takus memang berada di daerah lintasan dan permainan gajah.


Kaitan dengan Kerajaan Sriwijaya
Banyak versi tentang masa pendirian Candi Muara Takus. Penelitian Arkeolog Jerman FM Schnitger PhD pada 1935 – 1936 menyimpulkan, situs purbakala ini dibangun abad XI atau XII.

Hal itu didasari penelitian terhadap struktur batu bahan utama candi.
Pendapat itu disetujui Dr Bennet, setelah meneliti puing-puing keramik di sekitar candi pada tahun 1973.

Peneliti lain, Ir Moens malah berpendapat candi ini dibangun abad IV.
Kesimpulan itu diajukan setelah Moens meneliti arsitektur candi.
Namun semua peneliti sependapat bahwa candi dan kawasan sekitarnya merupakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya.


Kerajaan Sriwijaya memang kerajaan besar. Berdiri sekitar abad VII, Sriwijaya mencapai puncak kejayaan pada abad VIII dan IX, saat dipimpin Raja Balaputera Dewa yang dikenal teratur dalam sistem tata negara. Wilayahnya meliputi Nusantara, Semenanjung Malaysia dan Brunei Darussalam.


Armada kapalnya kuat dan berdagang ke seluruh Asia. Sriwijaya juga menguasai jalur pelayaran dan perdagangan di selat Malaka, karena pedagang dari India ke Cina singgah di Sriwijaya untuk membeli rempah-rempah.


Sriwijaya yang berkedudukan di tepi sungai Musi, sekitar kota Palembang sekarang, juga merupakan pusat pengembangan agama Budha. Dalam catatannya, seorang sarjana agama Budha dari Cina bernama I-Tsing yang datang pada ke Sriwijaya tahun 685 mengisahkan, tahun 672 ia berangkat ke tempat-tempat suci agama Budha di India. Dalam perjalanan pulang, ia singgah di Sriwijaya dan tinggal di sana selama 10 tahun untuk mempelajari dan menerjemahkan buku-buku suci agama Budha dari bahasa Sansekerta ke bahasa Cina.


Pada zaman kejayaan Sriwijaya, Budha berkembang pesat di Jambi, Riau dan sebagian Sumatera Utara. Makanya dapat dijumpai juga sejumlah candi-candi Budha dan sejumlah prasasti penting di ketiga daerah tersebut.
Salah satu prasasti ditemukan di Pulau Karimun, di hulu Sungai Kampar yang menghadap Selat Malaka.

Prasasti itu berupa sebuah tulisan kuno yang ditulis sekitar abad ketujuh. Prasasti dengan nama Telapak Kaki Budha itu, sebagai bukti perkembangan agama Budha di sana.